Tuesday, April 24, 2007

Citra Perusahaan

Pemberian merek individual oleh perusahaan, khususnya produk jasa hanya dapat dilakukan dengan sangat terbatas, mengingat jumlah dan variasi suatu produk/ jasa yang demikian banyak, serta citra perusahaan itu sendiri merupakan penjewantahan dari merek produk/ jasa itu sendiri. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa keputusan pemberian nama bagi suatu perusahaan merupakan suatu keputusan strategis karena hal tersebut merupakan keputusan pemberian merek yang akan berimplikasi pada citra perusahaan.
Menurut Martinez dan Leslie (2004) dalam jurnal, mengutip pendapat Aaker bahwa definisi brand adalah, “ a distinguishing name/or symbol (such as a logo, trademark, or package design) intended to identify the goods or services of either one seller or a group of sellers, and to differentiate those goods or services from those competitor”.
Sedangkan definisi Merek menurut American Marketing Association yang dikutip oleh Kotler & Keller (2006 ;443), bahwa merek adalah nama, istilah, tanda, simbol atau disain, atau kombinasi dari hal-hal tersebut, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasikan barang atau jasa dari seorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari barang dan jasa pesaing”
Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa merek sebenarnya adalah merupakan janji penjual untuk secara konsisten memberikan tampilan, manfaat tertentu kepada konsumen, sehingga apabila janji tersebut terpenuhi maka akan berimplikasi pada baiknya citra perusahaan. Dan janji yang diberikan oleh suatu merek yang baik adalah ‘suatu jaminan bahwa apa yang dilihat oleh konsumen itulah yang akan mereka dapatkan‘ atau dengan kata lain perusahaan mendapatkan citra yang baik di mata konsumen.
Dalam era informasi sekarang ini, dimana konsumen dijejali dengan berbagai informasi, khususnya tentang produk/ jasa dalam jumlah yang banyak melalui berbagai media, seperti media cetak dan elektronik, maka upaya untuk membangun citra perusahaan menjadi semakin sulit. Banjirnya informasi tersebut bukan saja telah memberikan kepada konsumen banyak pilihan yang pada gilirannya semakin memperkuat posisi tawar - menawar konsumen, bahkan kondisi tersebut juga dapat semakin membingungkan mereka tentang produk mana yang akan dipilih. Dalam kondisi persaingan yang keras seperti ini, maka peranan merek yang kuat akan semakin penting bagi suatu produk dalam memenangkan persaingan.
Merek yang kuat adalah merek yang memiliki equitas merek (brand equity) yang tinggi, Menurut Martinez dan Leslie (2004) dalam jurnal, bahwa ekuitas merek adalah “seperangkat asset (dan liabilities) yang berkaitan dengan simbol dan nama suatu merek yang menambah (atau mengurangi) nilai yang diberikan oleh suatu produk atau jasa kepada perusahaan atau pelanggan perusahaan.” Penulis lain, Kim dan Jeong (2003) dalam jurnal, berpendapat bahwa kita harus membedakan antara brand equity dengan brand identity. Menurutnya brand equity adalah :
“The total accumulated value or worth of brand the tangible and intangible asset that the brand contributes to its corporate parent, both financially and interes of selling leverage” sedangkan brand identity adalah “The configuration of word, image, ideas and association that form a consumers aggregate perception of a brand”.

Dengan perkataan lain brand identity adalah merupakan bagian dari brand equity, yang merupakan persepsi keseluruhan merek di pasar yang dibentuk oleh personality dan positioning. Sedangkan Aaker dalam Kim dan Jeong (2003) mendefinisikan brand equity, merupakan “a unique set of associations that the brand strategist aspires to create or maintain. These associations represent what the brand stands for and imply a promise to customers from the organization members”.
Hal penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa brand equity itu secara keseluruhan hidup/ berada di dalam benak pelanggan, jadi brand equity bukan sesuatu yang diciptakan oleh pemasar, tetapi adalah sesuatu yang diciptakan oleh persepsi konsumen. Kalau begitu apa pula yang dimaksud dengan brand image ? Banyak orang mungkin lebih mengenal istilah brand image dibandingkan dengan brand equity dan brand identity. Aaker dalam Martinez dan Leslie (2004) mendefinisikan brand image sebagai “a sat of associations, usually organized in some weamingful way” (seperangkat asosiasi yang dirangkai dalam berbagai bentuk yang bermakna ). Contoh, produk elektronik merek Nokia yang diasosiakan sebagai, teknologi canggih, kualitas gambar dan suara yang tinggi, pelayanan purna jual yang handal, harganya mahal dan tahan lama.
Ataman dan Burc (2004) mengatakan bahwa “image is on the receiver side” sedangkan “identity is on the sender’s side”. Artinya, citra (images) adalah bagaimana masyarakat mengartikan semua tanda -tanda yang di keluarkan / disampaikan oleh merek melalui barang-barang, jasa-jasa dan program komunikasinya. Dengan perkataan lain citra adalah reputasi. Sedangkan menurut Rust, Rolant.Anthony Zahorik (1993), mengutip pendapat Zeithaml, bahwa “ organizational image as perceptions of an organization reflected in the associations held in consumer memory. Dengan demikian agar supaya image yang diperoleh sesuai atau mendekati brand identity yang di inginkan, maka perusahaan harus memahami dan mampu mengeksploitasi unsur-unsur yang membentuk dan membuat suatu brand menjadi brand yang kuat. Hal ini senada dengan ungkapan Gronroos dalam Rio, Rodolfo, dan Victor (2003) bahwa “ A favorable and well know image – corporate and/or local is an asset for any organization because image can impact perceptions of quality, satisfaction, and loyalty.
Menurut Aaker (1991:16) yang diperkuat oleh Kotler dan Keller (2006 ; 261), Ekuitas merek akan semakin tinggi seiring dengan semakin tingginya dimensi-dimensi dari citra perusahaan itu sendiri; dimensi-dimensi tersebut adalah:
· kesadaran akan citra perusahaan (company recognition)
· kesetiaan / pengenalan citra perusahaan (company reputation)
· kesan kualitas (afinity)
· asosiasi-asosiasi merek (domain)
· asset lainnya seperti hak paten, stempel dagang, saluran distribusi, dan lain-lain.

Ekuitas merek dapat menambah atau mengurangi nilai produk atau jasa dimata konsumen (yang dimaksud nilai di sini adalah citra), karena ekuitas merek tersebut dapat membantu konsumen menafsirkan, memproses dan menyimpan informasi dalam jumlah yang besar tentang produk atau jasa yang dijanjikan merek. Di samping itu ekuitas merek juga bisa mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam mengambil keputusan pembelian serta kepuasan dalam menggunakan produk. Demikian pula halnya bagi perusahaan (produsen), ekuitas merek yang kuat memungkinkan perusahaan melaksanakan program marketingnya secara lebih efisien dan efektif, menumbuhkan loyalitas terhadap merek, keunggulan dalam penetapan harga dan atau laba, memungkinkan perluasan merek, meningkatkan penjualan, dan akhirnya memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Oleh karena itu sangat penting bagi manajemen perusahaan untuk selalu memperhatikan, memahami, dan memelihara dengan baik semua dimensi-dimensi ekuitas merek, sehingga semua keuntungan dan manfaat yang diperoleh konsumen maupun perusahan dapat terus dipertahankan.
Bagaimana Brand Equity memberikan nilai, terdiri dari empat fase yakni :
Pertama, dimensi kesadaran citra perusahaan adalah kesanggupan konsumen untuk mengenali atau mengingat kembali, bahwa suatu citra merupakan bagian dari kategori merek produk tertentu, atau dengan perkataan lain adalah seberapa kuat suatu merek tertanam dalam benak / ingatan konsumen. Ukuran kesadaran citra dibenak konsumen menurut Aaker (1996, 10) bergerak mulai dari “pengenalan (recognition), pengingatan kembali (to recall), puncak pikiran (top of mind), dan yang menguasai (to dominant)”. Top of mind adalah posisi istimewa dimana suatu citra menjadi ‘pimpinan’ dari berbagai merek yang ada dalam ingatan/pikiran seseorang, sedangkan merek dominan adalah merek yang menempati posisi sebagai satu-satunya merek yang diingat kembali seseorang (responden) dengan persentase tinggi. Dalam kondisi persaingan belum terlalu tajam, top of mind sudah mencukupi. Namun bila persaingan sudah meningkat semakin tajam, maka top of mind saja tidak cukup. Upaya yang harus dilakukan adalah mengasosiasikan merek menjadi citra positif menurut konsumen dan membuat konsumen merasa bahwa merek kita merupakan jaminan kualitas. Hasil survey Abdul Rahman dan kawan-kawan di Indonesia tahun 1995 (1996,234-239) menunjukan bahwa SONY, selain merupakan merek yang berada pada posisi top of mind, juga dipersepsikan sebagai jaminan kualitas dan memiliki citra perusahaan yang positif; sedangkan KIJANG sekalipun menjadi top of mind, tetapi belum dipersesikan sebagai jaminan kualitas.
Kedua, dimensi Kesan kualitas (perceived quality) adalah persepsi konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa. Dan bila kesan kualitas meningkat, maka elemen kesan-kesan konsumen yang lainpun pada umumnya akan meningkat; misalnya, bila konsumen mempunyai kesan kualitas atas suatu produk itu baik, maka mereka juga akan beranggapan bahwa tarif/harga dari produk atau jasa itupun akan mahal. Dengan demikian adalah sangat penting bagi management perusahaan untuk selalu memahami hal-hal kecil yang dijadikan konsumen sebagai dasar untuk menilai kualitas produk atau jasa perusahaan. Perlu diingat pula bahwa kesan kualitas yang tinggi tersebut bukan ditentukan oleh pihak perusahaan, melainkan oleh konsumen.
Ketiga, dimensi Loyalitas merek adalah merupakan kesetiaan pelanggan terhadap suatu merek tertentu. Loyalitas merek berbeda dengan dimensi-dimensi yang lain, karena dimensi ini hanya dapat terjadi melalui pengalaman menggunakan produk atau jasa yang diwakili merek tersebut oleh pelanggan. Menurut Aaker (1991,39-40) kesetiaan terhadap merek inipun berjenjang, yaitu terendah adalah tidak loyal terhadap merek, pembeli yang puas, pembeli yang puas dengan biaya peralihan, menyukai merek dan yang tertinggi adalah pembeli yang komit. Pada tingkat paling dasar pembeli bersikap tidak loyal, dalam arti sama sekali tidak tertarik terhadap merek, sehingga pembeli cenderung untuk memilih/ membeli apapun dari suatu kategori produk atau jasa yang menawarkan kenyamanan dengan harga yang paling murah.
Pada tingkat ke dua, pembeli merasa puas dengan produk (jasa) yang digunakannya, atau tidak mengalami ketidak-puasan. Para pembeli tipe ini melakukan pembelian karena kebiasaan dan merasa tidak perlu atau tidak mempunyai alasan untuk mempertimbangkan alternatif lain. Namun demikian, bila produk yang ditawarkan perusahaan pesaing mampu menciptakan suatu manfaat yang nyata, maka mereka akan mudah untuk beralih kepada produk pesaing. Pada tahap ke tiga pembeli merasa puas tetapi memikul biaya peralihan; umpamanya uang, waktu atau kinerja; apabila mereka akan beralih merek. Sebagai contoh adalah penggantian penggunaan perangkat lunak (soft ware) sistem operasi oleh suatu pendidikan, selain memerlukan pengorbanan finansil juga adanya risiko bahwa belum tentu sistem operasi yang baru akan berjalan lebih baik dari yang digantikan.
Pada tahap ke empat, pembeli sungguh-sungguh menyukai merek karena adanya preferensi yang berlandaskan kepada asosiasi-asosiasi dari merek; misalnya logo, pengalaman menggunakan, kesan kualitas yang tinggi atau karena hal-hal yang bersifat emosional.Pada tahap tertinggi adalah para pelanggan setia yang loyal kepada merek. Pada umumnya pelanggan setia ini memiliki rasa kebanggaan menjadi pengguna dari merek karena dalam pandangan mereka merek tersebut selain sangat penting dari segi fungsinya, juga merupakan suatu ekspresi mengenai siapa mereka adanya

2 comments:

Vin4 said...
This comment has been removed by the author.
Vin4 said...

maaph mas..sy sedang thesis mengenai brand equity terhadap customer confidence in purchase decision. Mohon minta referensi teori2 mengenai customer confidence. Ad dbuku ap ya? Thankx be4...