Tuesday, April 24, 2007

Pemasaran dan Pemasaran Stratejik

Secara substantif pemasaran (atau manajemen pemasaran) dan pemasaran stratejik memiliki perbedaan dalam beberapa aspek seperti kerangka waktu, proses keputusan, hubungan dengan lingkungan dan lainnya (Jain, 2000:32). Aspek waktu dari manajemen pemasaran bersifat jangka pendek dan keputusan yang diambil berkaitan dengan waktu tertentu, proses keputusan cenderung top-down, serta lingkungan dianggap konstan. Sedangkan pemasaran stratejik bersifat jangka panjang dan keputusan yang diambil memiliki implikasi jangka panjang, proses keputusan cenderung bottom-up, serta lingkungan dianggap sering berubah dan dinamis.
Cravens dan Piercy (2003:31-32) mengemukakan bahwa pemasaran stratejik merupakan proses market-driven dari pengembangan strategi yang mempertimbangkan perubahan lingkungan dan kebutuhan untuk menawarkan superior customer value. Fokus dari pemasaran stratejik yaitu pada kinerja organisasi. Dalam hal ini, pemasaran stratejik menghubungkan organisasi dengan lingkungan serta memandang pemasaran sebagai suatu fungsi yang memiliki tanggungjawab melebihi fungsi lain dalam keseluruhan aktivitas bisnis (Sucherly, 2004:20).
Proses pemasaran stratejik meliputi empat tahapan, yaitu: analisis situasi stratejik, penyusunan strategi pemasaran, pengembangan program pemasaran, serta implementasi dan pengendalian strategi pemasaran. Ini sesuai dengan yang dikemukakan Cravens dan Piercy (2003:32), sebagai berikut:
Strategic
situation
analysis
Designing
marketing strategy
Marketing
program
development
Implementing
and managing marketing strategy
Lingkungan Pemasaran

Pengertian dan Pembagian Lingkungan Pemasaran

Lingkungan pemasaran terdiri dari sejumlah pelaku dan atau kekuatan yang terlibat dalam aktivitas pemasaran dan mempengaruhi keberhasilan pemasaran. Menurut Kotler dan Armstrong (2001:13) pelaku dan kekuatan dalam lingkungan pemasaran mempengaruhi kemampuan manajemen dalam mengembangkan dan memelihara keberhasilan hubungan dengan pasar sasarannya.

Suppliers
Environment
Company
(marketer)

Competitors

End user market

Marketing Intermediaries


Pelaku dan Kekuatan Utama
Dalam Sistem Pemasaran

Lingkungan pemasaran terdiri dari lingkungan mikro dan lingkungan makro. Lingkungan pemasaran mikro terdiri dari perusahaan, pemasok, perantara, konsumen dan pesaing (Kotler, 2000:76; Kotler dan Armstrong, 2001:88). Sedangkan lingkungan pemasaran makro terdiri dari kekuatan societal lebih luas yang mempengaruhi lingkungan mikro; meliputi demographic, economic, natural, technological, political dan cultural (Kotler, 2000:76; Kotler dan Armstrong, 2001:93).
Lingkungan Pemasaran Mikro
Sebagai salah satu pelaku dalam lingkungan mikro, perusahaan mengelola kegiatan pokok meliputi produksi, keuangan, sumber daya manusia, pemasaran, serta riset dan pengembangan. Kelima kegiatan pokok perusahaan ini merupakan lingkungan internal perusahaan (Kotler dan Armstrong, 2001:88-89; Czinkota dan Kotabe, 2001:57). Sedangkan pemasok, perantara, konsumen dan pesaing berada di luar perusahaan merupakan lingkungan eksternal perusahaan. Dengan demikian lingkungan mikro terdiri dari:
1) lingkungan mikro eksternal yang meliputi pemasok, perantara, konsumen dan pesaing; dan
2) lingkungan mikro internal yang meliputi produksi, keuangan, sumber daya manusia, pemasaran, serta riset dan pengembangan.
Pelaku utama dalam sistem pemasaran dan berada di luar perusahaan yang terdiri dari konsumen, pemasok, perantara dan pesaing menggambarkan kekuatan dalam lingkungan mikro eksternal. Sedangkan kegiatan pokok perusahaan yang terdiri dari produksi, keuangan, sumber daya manusia, pemasaran, serta riset dan pengembangan menggambarkan kekuatan internal perusahaan. Menurut Bowman (1990:30) kekuatan-kekuatan dalam lingkungan mikro itu saling mempengaruhi.
Urban dan Star (1991:16-17); Holley dan Sounders (1993:101-126); Walker, Boyd dan Larreche (1999:130-132); serta Bowman (1990:30-40) mengidentifikasi sejumlah indikator kekuatan pelaku dalam lingkungan mikro eksternal, sebagai berikut:
1) Kekuatan konsumen mencakup jumlah konsumen dibandingkan dengan jumlah produsen, kemudahan kondumen berpindah dari produsen satu ke yang lain, tingkat kepentingan barang yang dibeli konsumen, tuntutan konsumen dan daya beli konsumen;
2) Kekuatan pesaing mencakup cakupan bisnis, penguasaan pangsa pasar, arah tujuan yang ingin dicapai, kinerja pesaing dan strategi pemasaran;
3) Kekuatan pemasok bahan baku mencakup jumlah pemasok bahan baku, kemampuan pemasok dalam mengendalikan bahan baku, kemampuan pemasok dalam mengendalikan harga bahan baku, hubungan pemasok dengan perusahaan dan tingkat kepentingan bahan baku yang dipasok;
4) Kekuatan perantara mencakup tingkat saluran distribusi, jumlah perantara untuk setiap saluran distribusi, pemahaman perantara tentang pasar, pemahaman perantara tentang produk, kemampuan perantara dalam mendistribusikan dan menjual produk, serta hubungan perantara dengan perusahaan.
Indikator kekuatan internal yang tersebar pada fungsi atau bidang kegiatan perusahaan diidentifikasi oleh Jain (2000:65); Perreault dan McCarthy (1996:122-123) serta Urban dan Star (1991:18), sebagai berikut:
1) Kekuatan produksi atau operasi mencakup kapasitas produksi, fasilitas produksi, teknologi produksi yang digunakan, efisiensi produksi dan kemampuan mengendalikan pasokan bahan baku;
2) Kekuatan keuangan mencakup struktur dan nilai aset, akses memperoleh kredit, alokasi dana untuk setiap kegiatan perusahaan, dukungan sumber daya keuangan dalam memenuhi kebutuhan dana setiap kegiatan dan efisiensi penggunaan sumber daya keuangan;
3) Kekuatan sumber daya manusia mencakup jumlah pegawai, kualifikasi pegawai, perencanaan sumber daya manusia, penarikan dan pengembangan pegawai, serta sistem kompensasi.
4) Kekuatan pemasaran mencakup citra perusahaan atau produk, pemahaman tentang pasar, jaringan distribusi, pengembangan produk, efektivitas promosi,penetapan harga, serta hubungan dengan konsumen, pemasok dan perantara;
5) Kekuatan riset dan pengembangan mencakup kualitas riset, relevanasi riset dengan kebutuhan pengembangan, ketersediaan sumber daya riset, komitmen manajemen terhadap riset dan pemanfaatan hasilnya, kerjasama dengan pihak lain, serta waktu pelaksanaan riset.

Orientasi Perusahaan dalam Pasar

Sejumlah philosophy atau orientasi perusahaan dapat dipilih dan digunakan dalam mencapai tujuan pemasaran. Philosophy atau orientasi perusahaan yang dipilih dijadikan pedoman seluruh kegiatan pemasaran. Kotler (2003:12-17) mengemukakan enam orientasi perusahaan dalam kegiatan pemasaran, yaitu: the production concept, the product concept, the selling concept, the marketing concept, the customer concept dan the societal marketing concept.
Sedangkan Hollensen (2003:9-14) mengelompokkan ke dalam dua philosophy atau orientasi perusahaan, yaitu the transactional marketing concept dan the relationship marketing consept. Pilihan atas satu atau beberapa philosophy atau orientasi perusahaan didasarkan pada kondisi yang ada dan menjadi syarat berlakunya philosophy atau orientasi perusahaan itu.
The production concept menyatakan bahwa konsumen akan menyukai produk yang tersedia di banyak tempat dan murah harganya. Perusahaan atau produsen berorientasi pada produksi dengan memusatkan perhatian pada upaya mencapai tingkat efisiensi produksi yang tinggi dan perluasan distribusi.
The product concept menyatakan bahwa konsumen menyukai produk yang menawarkan mutu, kinerja dan pelengkap inovatif yang terbaik. Perusahaan atau produsen berorientasi pada produk dengan memusatkan perhatian pada upaya untuk menghasilkan produk yang bermutu serta secara terus-menerus menyempurnakannya.
The selling concept menyatakan bahwa konsumen, jika diabaikan, biasanya tidak akan membeli produk dalam jumlah yang banyak. Oleh karena itu, perusahaan atau produsen harus melakukan upaya penjualan dan promosi yang gencar.
The marketing concept menyatakan bahwa kunci untuk meraih tujuan perusahaan adalah menjadi lebih efektif daripada pesaing dengan memadukan kegiatan pemasaran dalam menciptakan dan memuaskan kebutuhan dan keinginan pasar sasaran. Menurut Winer (2004:6) the marketing concept ini paling banyak digunakan dalam kegiatan pemasaran.
The customer concept menyatakan bahwa perusahaan mengharapkan untuk mencapai pertumbuhan yang menguntungkan dengan merebut pangsa yang lebih besar dari setiap pengeluaran konsumen, membangun loyalitas konsumen yang tinggi dan memfokuskan pada nilai konsumen.
The societal marketing concept menyatakan bahwa tugas perusahaan atau produsen adalah menentukan kebutuhan, keinginan dan kepentingan pasar sasaran, serta memberikan kepuasan secara efektif dan efisien daripada pesaing dengan mempertahankan dan meningkatkan tanggungjawab sosial kepada konsumen dan masyarakat.
Hollenson (2003:6-7) mengemukakan bahwa pencapaian tujuan pemasaran yang bertumpu pada perencanaan dan pelaksanaaan unsur bauran pemasaran bersifat tradisional. Ini dikarenakan fokus utama dari program pemasarannya yaitu pada transaksi atau pembelian oleh konsumen tanpa memperhatikan apakah konsumen lama atau baru. The transactional marketing concept ini didasarkan pada tiga asumsi, yaitu:
1) terdapat sejumlah besar konsumen potensial,
2) konsumen dan kebutuhannya relatif homogen, dan
3) mudah mengganti konsumen yang ke luar dengan yang baru.
Berbeda dengan the transactional marketing concept, the relationship marketing concept berupaya melibatkan dan mengintegrasikan konsumen, pemasok dan pihak lainnya dalam suatu jaringan untuk kepentingan aktivitas pemasaran dan pengembangan perusahaan. Relationship merupakan aset penting yang menentukan kelangsungan atau masa depan perusahaan.

Pengertian dan Konsep Inti Pemasaran

Pada dasarnya pemasaran merupakan suatu proses sosial dan manajerial di mana individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan dan pertukaran produk dan nilai dengan yang lain (Kotler dan Armstrong, 2001:6). The American Marketing Association (Kotler, 2003:6; Hollenson, 2003:9; Czinkota dan Kotabe, 2001:3) merumuskan definisi pemasaran yang lebih menekankan pada proses manajerial yaitu proses perencanaan dan penetapan konsepsi, penetapan harga, promosi dan distribusi gagasan, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memuaskan tujuan individu dan organisasi.
Dalam hal ini pemasaran melibatkan sejumlah fungsi manajerial yang saling berhubungan dalam suatu proses manajemen, yaitu analysis, planning, implementation dan control (Kotler dan Armstrong, 2001:69; Hollenson, 2003:6-7). Kegiatan pemasaran dapat diarahkan kepada konsumen akhir dan juga kepada industri (Czinkota dan Kotabe, 2001:8-9; Sucherly, 1996:27). Perusahaan yang mengarahkan kegiatan pemasarannya ke konsumen akhir termasuk dalam kegiatan pemasaran produk konsumsi, produk yang dipasarkan merupakan produk konsumsi dan pasarnya disebut pasar konsumen. Sedangkan perusahaan yang mengarahkan kegiatan pemasarannya ke indusri termasuk dalam kegiatan pemasaran produk industri, produk yang dipasarkan merupakan produk industri dan pasarnya disebut pasar industri atau pasar bisnis. Pemasaran produk konsumsi dan pemasaran produk industri memiliki karakteristik yang berbeda, baik dilihat dari sifat produk maupun perilaku pembelinya. Pemasaran produk konsumsi umumnya dilakukan oleh perusahaan yang bergerak di sektor hilir. Sedangkan pemasaran produk industri umumnya dilakukan oleh perusahaan yang bergerak di sektor hulu.

Dengan demikian kegiatan pemasaran memiliki cakupan luas. Kotler (2003:8) dan Sucherly (1996:27) mengemukakan sejumlah faktor yang menunjukkan luasnya cakupan kegiatan pemasaran, sebagai berikut:
1) melibatkan berbagai pihak;
2) melibatkan fungsi manajerial;
3) yang dipasarkan tidak hanya barang tetapi produk dalam arti luas termasuk gagasan, jasa, informasi dan pengalaman;
4) sasaran yang ingin dicapai adalah kepuasan pihak-pihak yang terlibat dalam pertukaran.
Terdapat sejumlah konsep inti yang terkandung dalam pemasaran. Mempelajari konsep inti pemasaran akan sangat membantu dalam memahami hakekat pemasaran. Kotler (2003:6-12) mengidentifikasi konsep inti pemasaran itu, meliputi:
1) Target markets and segmentation. Segmentasi berkaitan dengan pengelompokan pasar yang menuntut bauran pemasaran yang berbeda. Segmen pasar ini dapat diidentifikasi berdasarkan aspek demographic, psychographic dan perilaku konsumen. Perusahaan kemudian memilih dan menetapkan segmen pasar yang akan dilayani sebagai pasar sasaran.
2) Marketplace, marketspace and metamarket. Marketplace bersifat fisik seperti seseorang berbelanja di suatu toko. Beberda dengan marketplace, marketspace bersifat digital seperti seseorang berbelanja melalui internet. Adapun metamarket bersifat komplementer dari barang dan jasa berbagai industri yang relevan seperti automobile metamarkets, terdiri dari: pabrik mobil, dealer mobil, lembaga keuangan, perusahaan asuransi dan lainnya.
3) Marketers and prospects. Marketer adalah seseorang atau organisasi yang berusaha mendapatkan suatu respons (perhatian, pilihan dan pembelian) dari pihak lain atau prospect.
4) Need, wants and demand. Marketer harus berusaha memahami kebutuhan, keinginan dan permintaan pasar sasaran. Kebutuhan berkaitan dengan sesuatu yang harus atau menuntut pemenuhan. Manusia senantiasa dihadapkan pada masalah kebutuhan ini; setidak-tidaknya untuk kelangsungan hidupnya, berinteraksi dan berkembang. Untuk kelangsungan hidupnya, manusia membutuhkan makanan, pakaian, rumah dan lainnya. Kebutuhan berbeda dengan keinginan walaupun setiap keinginan manusia senantiasa didasarkan atau diturunkan dari kebutuhannya. Keinginan seseorang lebih banyak dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman, kebudayaan, pendidikan, geografis, demografis dan lainnya. Keinginan ditunjukkan oleh pilihan, seperti dalam hal makanan seseorang menginginkan roti dan yang lain menginginkan nasi. Suatu keinginan yang didukung oleh daya beli akan melahirkan permintaan. Seseorang yang menginginkan roti dan memiliki daya beli atau kemampuan untuk mendapatkannya maka orang itu akan membeli roti. Jadi permintaan seseorang atas suatu produk tekait dengan kebutuhan dan keinginan tentang produk itu yang didukung oleh kemampuan untuk mendapatkannya atau daya belinya.
5) Product, offering and brand. Produk berkaitan dengan nilai yaitu seperangkat manfaat yang ditawarkan kepada konsumen untuk memuaskan kebutuhannya.
6) Value and satisfaction. Kesesuaian antara kinerja produk dengan tuntutan konsumen akan membentuk kepuasan bagi konsumen yang bersangkutan. Dalam hal ini, kepuasan konsumen melibatkan komponen kinerja produk yang dibelinya dan tuntutannya atau harapannya atas produk itu. Tingkat kepuasan konsumen tergantung pada kesesuaian antara kedua komponen itu. Kepuasan dapat juga dikaji dari nilai konsumen berupa kesesuaian manfaat yang diperoleh konsumen dari suatu produk yang dibelinya dengan biaya atau pengorbanan yang dikeluarkan untuk memperoleh produk itu. Manfaat yang dirasakan konsumen berupa manfaat fungsional dan manfaat emosional. Sedangkan biaya yang dikeluarkan berupa uang, energy, waktu dan mental. Agar dapat menciptakan nilai konsumen yang tinggi maka perusahaan atau produsen harus mampu memberikan manfaat yang lebih besar dari suatu produk yang ditawarkannya dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan konsumen untuk memperoleh produk itu.
7) Exchange and transactions. Pertukaran merupakan proses mendapatkan suatu produk dari pihak tertentu melalui penawaran. Terdapat lima kondisi atau syarat terjadinya pertukaran, yaitu: sekurang-kurangnya terdapat dua pihak, masing-masing pihak memiliki sesuatu yang bernilai bagi pihak lain, masing-masing pihak kapabel dalam berkomunikasi, masing-masing pihak bebas menerima atau menolak penawaran pertukaran dan masing-masing pihak saling mempercayai. Dalam pertukaran kedua pihak bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan. Jika terjadi kesepakatan berarti terjadi transaksi. Dalam hal ini transaksi merupakan suatu pertukaran nilai antara dua pihak atau lebih, melibatkan waktu dan tempat.
8) Relationships and networks. Relationship marketing bertujuan untuk membangun hubungan yang saling memuaskan dalam jangka panjang dengan konsumen, pemasok, distributor dan lainnya. Ini penting untuk meningkatkan dan memelihara bisnisnya dalam jangka panjang. Outcome dari relationship marketing berupa suatu jaringan pemasaran antara perusahaan dengan stakeholder-nya (konsumen, karyawan, pemasok, distributor dan lainnya).
9) Marketing channels. Untuk mencapai pasar sasaran, marketer menggunakan tiga jenis saluran pemasaran, yaitu: pertama, cummunication channels yaitu menyampaikan dan menerima pesan kepada dan dari pasar sasaran. Ke dua, distribution channels yaitu menyampaikan produk atau jasa kepada pembeli. Ke tiga, service channels yaitu menyelenggarakan transaksi dengan pembeli potensial yang melibatkan warehouse, perusahaan transportasi, bank dan perusahaan asuransi untuk memfasilitasi transaksi.
10) Supply chain. Menggambarkan rentang saluran yang lebih panjang mulai dari bahan baku, produk akhir sampai ke pembeli akhir. Supply chain ini menggambarkan suatu sistem penyampaian nilai.
11) Competition. Mencakup seluruh pesaing aktual dan potensial. Terdapat empat level persaingan yaitu brand competition, industry competition, form competition dan generic competition.
12) Marketing environment. Terdiri dari lingkungan tugas mencakup perusahaan, pemasok, distributor, konsumen dan lingkungan yang lebih luas mencakup lingkungan demograpi, lingkungan ekonomi, lingkungan alam, lingkungan teknologi, limgkungan politik-legal dan lingkungan sosial-budaya. Lingkungan yang lebih luas terdiri dari kekuatan yang memiliki pengaruh pada pelaku dalam lingkungan tugas.
13) Marketing program. Tugas marketer adalah mengembangkan suatu program pemasaran atau rencana untuk mencapai tujuan perusahaan. Dalam hal ini, bauran pemasaran merupakan seperangkat alat yang digunakan perusahaan untuk mencapai tujuan pemasarannya dalam suatu pasar sasaran. Pada dasarnya alat-alat dalam bauran pemasaran itu terdiri dari produk, harga, distribusi dan promosi.

Loyalitas Pelanggan

Griffin (2003 ; 113), memberikan pengertian loyalitas : When a customer is loyal, he or she exhibits purchase behavior defined as non-random purchase expressed over time by some decision-making un\it.
Dan pentingnya untuk meningkatkan first-time customer menjadi lifetime buyer adalah :
· Penjualan akan meningkat karena konsumen akan membeli lebih dari Anda.
· Akan menguatkan posisi Anda di pasar jika konsumen membeli dari Anda dan bukan dari kompetitor.
· Biaya pemasaran akan turun karena Anda tidak harus menggunakan uang lebih banyak untuk menarik konsumen karena Anda telah mengenalnya. Demikian juga konsumen yang puas akan menceritakan ke temannya sehingga akan mengurangi biaya iklan.
· Anda akan dapat mengisolasi dari kompetensi harga karena konsumen yang loyal tidak gampang terpengaruh oleh discount dari pesaing.
· Akhirnya konsumen yang puas akan senang untuk mencoba produk anda yang lainnya, sehingga membantu Anda untuk memperoleh pangsa pasar yang lebih luas.
Indikator dari loyalitas pelanggan menurut Kotler & Keller (2006 ; 57) adalah Repeat Purchase (kesetiaan terhadap pembelian produk); Retention (Ketahanan terhadap pengaruh yang negatif mengenai perusahaan); referalls (mereferensikan secara total esistensi perusahaan).
Selanjutnya Griffin (2003 ; 223) mengemukakan keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh perusahaan apabila memiliki pelanggan yang loyal antara lain :
1. Mengurangi biaya pemasaran (karena biay\a untuk menarik pelangan baru lebih mahal).
2. Mengurangi biaya transaksi (seperti biaya negosiasi kontrak, pemrosesan pesanan, dll).
3. Mengurangi biaya turn over pelanggan (karena pergantian pelanggan yang lebih sedikit).
4. Meningkatkan penjualan silang yang akan memperbesar pangsa pasar perusahaan.
5. Word of mouth yang lebih positif dengan asumsi bahwa pelanggan yang loyal juga berarti mereka yang merasa puas.
6. Mengurangi biaya kegagalan (seperti biaya pergantian, dll).

Ciri-ciri Pelanggan yang Loyal
· Makes regular repeat purchase (melakukan pembelian ulang secara teratur)
· Purchases across product and service lines (melakukan pembelian lini produk yang lainnya dari perusahaan Anda)
· Refers others; and (memberikan referensi pada orang lain)
· Demonstrates in immunity to the pull of the competition (menunjukkan kekebalan terhadap tarikan dari pesaing/ tidak mudah terpengaruh oleh bujukan pesaing)

Peningkatan Loyalitas Pelanggan
Untuk dapat menjadi pelanggan yang loyal, seorang pelanggan harus memulai beberapa tahapan. Proses ini berlangsung lama dengan penekanan dan perhatian yang berbeda untuk masing-masing tahap karena setiap tahap mempunyai kebutuhan yang berbeda. Dengan memperhatikan masing-masing tahapan dan memenuhi kebutuhan dalam setiap tahap tersebut, perusahaan memiliki peluang yang lebih besar untuk membentuk calon pembeli menjadi pelanggan loyal dan klien perusahaan. Hill (1996 ;332) menjelaskan bahwa tingkatan loyal terbagi atas 6 tingkat, yaitu :
· Suspect
Bagian ini termasuk semua pembeli produk atau jasa dalam pemasaran, jadi suspects adalah menyadari akan produk atau jasa perusahaan atau tidak mempunyai kecenderungan terhadap pembelian.
· Prospects
Prospects adalah pelanggan potensial yang mempunyai daya tarik terhadap perusahaan tetapi belum mengambil langkah untuk melakukan bisnis dengan perusahaan.
· Customers
Suatu tipe pembelian produk (walaupun dalam kategori ini termasuk beberapa pembelian ulang) yang tidak memiliki loyalitas pada perusahaan.
· Clients
Pembelian ulang yang menunjukkan loyalitas pada perusahaan tetapi lebih memiliki dorongan pasif daripada aktif terhadap perusahaan.
· Advocates
Client yang memberikan dorongan yang positif pada perusahaan dengan merekomendasikannya kepada orang lain.
· Partners
Partners adalah hubungan yang sangat erat antara konsumen dengan supplier yang keduanya saling memperlihatkan keuntungan.
Hill (1996) membagi tahapan loyalitas pelanggan menjadi 6 tahap dari tingkat suspects hingga tahap partner, untuk lebih jelasnya lagi di bawah ini digambarkan mengenai piramida tentang loyalitas pelanggan.

The Profit Generator System
1) Suspects
Adalah semua orang yang mungkin akan membeli produk atau jasa perusahaan. Kita menyebutnya sepagai suspects karena yakin bahwa mereka akan membeli tetapi belum tahu apapun mengenai perusahaan dan barang/ jasa yang ditawarkan.
2) Prospects
Adalah orang-orang yang memiliki kebutuhan akan produk atau jasa tertentu dan mempunyai kemampuan untuk membelinya. Para prospects ini meskipun mereka belum melakukan pembelian, mereka telah menyatakan keberadaan perusahaan, barang dan jasa yang ditawarkan karena seseorang telah merekomendasikan barang/ jasa tersebut padanya.
3) Disqualified Prospect
Yaitu prospect yang telah mengetahui keberadaan barang/ jasa terentu, tetapi tidak mempunyai kebutuhan akan barang/ jasa tersebut atau tidak mempunyai kemampuan untuk membeli barang/ jasa tersebut.
4) First Time Customer
Yaitu pelanggan yang membeli untuk yang pertama kalinya, mereka masih menjadi pelanggan yang baru.
5) Repeat Customers
Yaitu pelanggan yang telah melakukan pembelian suatu produk sebanyak 2 kali atau lebih. Mereka adalah yang melakukan pembelian atas produk yang sama sebanyak 2 kali atau membeli dua macam produk yang berbeda dalam 2 kesempatan yang berbeda pula.
6) Clients
Membeli semua barang/ jasa yang ditawarkan yang mereka butuhkan, mereka membeli secara teratur, hubungan dengan jenis pelanggan ini sudah kuat dan berlangsung lama yang membuat mereka tidak terpengaruh oleh tarikan pesaing produk lain.
7) Advocates
Seperti layaknya klien, advocates membeli seluruh barang/ jasa yang ditawarkan yang ia butuhkan, serta melakukan pembelian secara teratur sebagai tambahan mereka mendorong teman-teman mereka yang lain agar membeli barang/ jasa tersebut. Ia membicarakan tentang barang/ jasa tersebut, melakukan pemasaran untuk perusahaan tersebut dan membawa pelanggan untuk perusahaan tersebut.

Cara Kerja Profit Generator Sistem Sebagai berikut :
Perusahaan memasukkan seluruh suspects ke dalam sistem pemasarannya dan para suspects ini kemudian akan tersaring menjadi qualified prospects dan disqualified prospects.
Disqualified prospects ini dikeluarkan dari system, sementara para qualified prospects dimasukkan ke proses selanjutnya. Semakin cepat menentukan disqualified prospects, semakin menguntungkan bagi perusahaan karena mereka hanya akan menghabiskan uang dan waktu saja.
Para qualified prospects kemudian difokuskan untuk menjadi first time buyers, setelah mereka didorong untuk menjadi repeat customers dan selanjutnya loyal client dan yang paling akhir dan yang menjadi tujuan dari kegiatan ini yaitu menjadikan mereka sebagai advocates bagi perusahaan. Para advocates ini akan mendatangkan profit bagi perusahaan, karena selain mereka telah menjadi pelanggan setia perusahaan, mereka juga akan mempengaruhi orang lain agar membeli produk dari perusahaan.
Masih dalam gambar di atas tersebut adanya inactive customer clients. Mereka adalah orang-orang yang telah menjadi first time buyers atau repeat customers atau client yang tidak kembali lagi. Hal ini harus diperhitungkan karena dalam setiap tahap perusahaan akan kehilangan sebagian dari mereka dan berarti kerugian pula bagi perusahaan.
Empat jenis kualitas berdasarkan tingkat pembelian ketertarikan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
1) No loyalty
Konsumen yang tingkat pengulangan pembeliannya rendah, dan tingkat ketertarikan rendah.
2) Inertia Loyalty
Yaitu konsumen yang tingkat pengulangan pembeliannya tinggi, namun sebenarnya tingkat ketertarikan terhadap produk rendah. Hal ini disebabkan pembelian yang hanya mempertimbangkan mudahnya saja. Misalnya pembelian bensin, karena jalurnya dilewati.
3) Latent Loyalty
Yaitu sikap relatif terhadap produk/ jasa tinggi tetapi pengulangan pembelian rendah. Jika konsumen pada kondisi latent loyalty maka faktor situasi lebih menentukan dibanding sikap dalam pembelian ulang. Misalnya seorang istri senang makan Chinese food direstoran tetangga, sementara suaminya lebih senang ke oriental food. Dengan mengetahui faktor situasi yang dapat memberikan kontribusi kepada latent loyalty maka perusahaan dapat menerapkan strategi untuk menariknya. Misalnya restoran Chinese food mempertimbangkan, menambahkan beberapa menu oriental food.
4) Premium loyalty
Yaitu tingkat loyalitas yang paling tinggi, dimana sikap relatif tinggi dan membeli ulang cukup tinggi. Biasanya orang yang loyalitasnya seperti ini merasa bangga dan mau untuk menceritakan pengalamannya dengan teman-temannya, keluarga dan orang lain. Konsumen ini akan menjadi vocal advocates untuk produk/ jasa dan secara konstan mereferensi ke orang lain.

Zeithaml (2000; 211) menjelaskan bahwa customer yang loyal biasanya akan melakukan beberapa hal berikut ini :
1. Will frequently help attract (trough word of mouth) new customers with similar relationship potential.
2. Less likely to be pulled away by competitors
3. Buy more product/ service from the company over time.
Pengertian loyalitas ini sampai sekarang memang belum ada satupun pakar dan buku yang dianggap paling sempurna, khususnya dalam memberikan terminologi yang tepat. Hal ini juga diakui oleh Egan (2001; 312).
Javalgi dan Mobers dalam Egan (2001; 313) memberikan dua definisi loyalitas dalam dua terminologi :
1. Dalam terminologi Behavioral
Usually based on the number of purchases and measured by monitoring the frequency of such purchases and any brand switching.
2. Dalam terminologi Attitudinal
Incorporating consumer preference and disposition towards brands to determine levels of loyalty.
Sedangkan Bloemer dan de Ruyter dalam Egan (2001 ; 314) intinya mengatakan bahwa loyalitas adalah non-random respon, misalnya kunjungan kembali, yang berlangsung beberapa kali yang menyebabkan komitmen terhadap merek.
Sedangkan tipe perilaku loyalitas dijelaskan sebagai berikut :
§ Switching behavior. Where purchasing is seen as an ‘either/or’ decision – either the customer stays with you (loyalty) or turns against you (switching).
§ Promiscuous behavior. Where customers are seen as making a ‘stream of purchases’ but still within the context of an either/or decision – either the customer is always with you (loyalty) or flits among an array of alternatives (promiscuous).
§ Polygamous behavior. Again, the customer makes a steam of purchase but their loyalty is divided among a number of products. They may be more or less loyal to your brand than any other.

Dick dan Basu dalam Egan (2001 ;315) memberikan penjelasan tentang hubungan antara kekuatan sikap (attitude strength) dan repeat patronage.
Storbacka (2001 ;121) menjelaskan pentingnya kekuatan hubungan. Asumsi dalam tradisional marketing selama sepuluh (10) tahun terakhir, adalah bahwa kepuasan konsumen akan menyebabkan profitabilitas perusahaan.
Dalam perusahaan airline dan perbankan menunjukkan bahwa dengan kompetisi yang sangat tajam ini, maka model dari kepuasan konsumen dianggap tidak tepat.
Paradigma ini juga sangat populer dalam pemasaran dan pemikiran strategik di Amerika sampai dengan pertengahan 1980-an. Idenya adalah bahwa konsumen yang puas adalah loyal, dan konsumen yang loyal akan menguntungkan, sehingga untuk memuaskan konsumen, perusahaan menekankan pada kualitas pelayanan dan sekaligus memuaskan konsumen.
Sejak awal 1990-an dan khususnya 1994, kemudian beberapa studi merupakan paradigma kepuasan konsumen. Peneliti kemudian mencoba mengembangkan metode untuk mengukur efek finansial dari quality improvement measures. Karena ternyata banyak perusahaan di akhir tahun 1980-an dan awal 1990 yang mendapat quality prizes, namun sangat jelek dalam aspek finansialnya.
Konsumen yang puas tidak selalu menjamin loyalitas, bahkan untuk industri tertentu sampai dengan 75% customer yang pindah ke perusahaan lain mengatakan mereka puas dengan perusahaan sebelumnya. Customer bisa berpindah ke perusahaan lain karena harga, karena kompetitor menawarkan peluang baru atau juga kadang-kadang mereka perlu variasi.
Demikian juga konsumen yang tidak puas sering tidak melakukan usaha untuk pindah ke perusahaan lain karena dia percaya bahwa pindah perusahaan lainpun hasilnya sama saja.
Timm (2001; 93) menjelaskan 5 elemen dari loyalitas pelanggan sebagai berikut :
1. The customer’s overall satisfaction. Low or erratic levels of satisfaction disqualify the company for earning customer loyalty.
2. The customer’s commitment to make a sustained investment in an ongoing relationship with a company.
3. The customer’s intention to be a repeat buyer.
4. The customer’s willingness to recommend the company to others.
5. The customer’s resistance to switch to a competitor.

Hanna (2001 ; 112) memberikan pengertian :
Brand loyalty is a consumer’s consistent preference for and purchase of a specific brand within a given product category over time. Without information seeking or brand evaluation, brand-loyal consumers automatically tend to repurchase the same brand. Their commitment to a brand serves two purposes. In the case of high involvement purchases with a strong degree of personal importance and relevance such as a car, brand loyalty reduces risk and facilitates selection. On the other hand, in the case of low-involvement purchases with a minor degree of personal importance and relevance such as a candy bar, routine purchasing saves time and effort.

Timm (2001; 94) menjelaskan strategi untuk membangun loyalitas pelanggan yang dia sebut Seven Power Strategies for Building Customer Loyalty yang terdiri dari :
1. Identify Customer Turnoffs
Do your customers somehow feel short-changed by your product or service? Are inefficient systems or frontline employee behaviours driving them away? Evaluating your organization’s weakness and strengths from the customer’s weakness and strengths from the customer’s point of view is Job One.
2. Recover Dissatisfied Customers
Service glitches and though customers are an occasional fact of life. Adopt Dr. Timm’s techniques for translating problems into opportunities. They begin with a willingness to accept and monitor feedback, a necessity that many companies surprisingly lack.
3. Create Positive Imbalance with Customers
Each and every customer comes to you with unspoken anticipations. By identifying what matters to that customers, you can tip the balance toward exceeding his or her expectations.
4. Give Customers A-Plus Value
You can build perceived value through a host of methods, from packaging and guarantees to memorable experiences. Take stock of your worth, attend to deficits, and customers will stick around.
5. Give Customers A-Plus Information
Have you checked your customer communications lately? Are you sure you’re getting out the right information at the right time? This is super-critical for e-commerce, with competitors just a click away.
6. Show Customers A-Plus Personality
What attitude does your organization project? Discover how to go beyond “smile training” to develop a genuine, deep-seated positivism that customers can’t help but want more of.
7. Give Customers A-Plus Convenience
Assess the user-friendliness of your products and processes. This book is packed with techniques for making your company easier to do business with. Use them and profit from them.

Timm juga menjelaskan bagaimana menjalankan Seven Task to Initiate and Sustain the A-Plus Customer Loyalty Strategy yang terdiri dari :
Task 1 : Orient All Employees
Task 2 : Build Momentum
Task 3 : Monitor Customer Expectation and Employee Behavior
Task 4 : Establish Systematic Customer Retention/ Follow-Up Efforts
Task 5 : Provide Continuous Training for Employees
Task 6 : Conduct Ongoing Systems Reviews
Task 7 : Recruit, Develop, and Retain Excellent Employees

Citra Perusahaan

Pemberian merek individual oleh perusahaan, khususnya produk jasa hanya dapat dilakukan dengan sangat terbatas, mengingat jumlah dan variasi suatu produk/ jasa yang demikian banyak, serta citra perusahaan itu sendiri merupakan penjewantahan dari merek produk/ jasa itu sendiri. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa keputusan pemberian nama bagi suatu perusahaan merupakan suatu keputusan strategis karena hal tersebut merupakan keputusan pemberian merek yang akan berimplikasi pada citra perusahaan.
Menurut Martinez dan Leslie (2004) dalam jurnal, mengutip pendapat Aaker bahwa definisi brand adalah, “ a distinguishing name/or symbol (such as a logo, trademark, or package design) intended to identify the goods or services of either one seller or a group of sellers, and to differentiate those goods or services from those competitor”.
Sedangkan definisi Merek menurut American Marketing Association yang dikutip oleh Kotler & Keller (2006 ;443), bahwa merek adalah nama, istilah, tanda, simbol atau disain, atau kombinasi dari hal-hal tersebut, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasikan barang atau jasa dari seorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari barang dan jasa pesaing”
Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa merek sebenarnya adalah merupakan janji penjual untuk secara konsisten memberikan tampilan, manfaat tertentu kepada konsumen, sehingga apabila janji tersebut terpenuhi maka akan berimplikasi pada baiknya citra perusahaan. Dan janji yang diberikan oleh suatu merek yang baik adalah ‘suatu jaminan bahwa apa yang dilihat oleh konsumen itulah yang akan mereka dapatkan‘ atau dengan kata lain perusahaan mendapatkan citra yang baik di mata konsumen.
Dalam era informasi sekarang ini, dimana konsumen dijejali dengan berbagai informasi, khususnya tentang produk/ jasa dalam jumlah yang banyak melalui berbagai media, seperti media cetak dan elektronik, maka upaya untuk membangun citra perusahaan menjadi semakin sulit. Banjirnya informasi tersebut bukan saja telah memberikan kepada konsumen banyak pilihan yang pada gilirannya semakin memperkuat posisi tawar - menawar konsumen, bahkan kondisi tersebut juga dapat semakin membingungkan mereka tentang produk mana yang akan dipilih. Dalam kondisi persaingan yang keras seperti ini, maka peranan merek yang kuat akan semakin penting bagi suatu produk dalam memenangkan persaingan.
Merek yang kuat adalah merek yang memiliki equitas merek (brand equity) yang tinggi, Menurut Martinez dan Leslie (2004) dalam jurnal, bahwa ekuitas merek adalah “seperangkat asset (dan liabilities) yang berkaitan dengan simbol dan nama suatu merek yang menambah (atau mengurangi) nilai yang diberikan oleh suatu produk atau jasa kepada perusahaan atau pelanggan perusahaan.” Penulis lain, Kim dan Jeong (2003) dalam jurnal, berpendapat bahwa kita harus membedakan antara brand equity dengan brand identity. Menurutnya brand equity adalah :
“The total accumulated value or worth of brand the tangible and intangible asset that the brand contributes to its corporate parent, both financially and interes of selling leverage” sedangkan brand identity adalah “The configuration of word, image, ideas and association that form a consumers aggregate perception of a brand”.

Dengan perkataan lain brand identity adalah merupakan bagian dari brand equity, yang merupakan persepsi keseluruhan merek di pasar yang dibentuk oleh personality dan positioning. Sedangkan Aaker dalam Kim dan Jeong (2003) mendefinisikan brand equity, merupakan “a unique set of associations that the brand strategist aspires to create or maintain. These associations represent what the brand stands for and imply a promise to customers from the organization members”.
Hal penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa brand equity itu secara keseluruhan hidup/ berada di dalam benak pelanggan, jadi brand equity bukan sesuatu yang diciptakan oleh pemasar, tetapi adalah sesuatu yang diciptakan oleh persepsi konsumen. Kalau begitu apa pula yang dimaksud dengan brand image ? Banyak orang mungkin lebih mengenal istilah brand image dibandingkan dengan brand equity dan brand identity. Aaker dalam Martinez dan Leslie (2004) mendefinisikan brand image sebagai “a sat of associations, usually organized in some weamingful way” (seperangkat asosiasi yang dirangkai dalam berbagai bentuk yang bermakna ). Contoh, produk elektronik merek Nokia yang diasosiakan sebagai, teknologi canggih, kualitas gambar dan suara yang tinggi, pelayanan purna jual yang handal, harganya mahal dan tahan lama.
Ataman dan Burc (2004) mengatakan bahwa “image is on the receiver side” sedangkan “identity is on the sender’s side”. Artinya, citra (images) adalah bagaimana masyarakat mengartikan semua tanda -tanda yang di keluarkan / disampaikan oleh merek melalui barang-barang, jasa-jasa dan program komunikasinya. Dengan perkataan lain citra adalah reputasi. Sedangkan menurut Rust, Rolant.Anthony Zahorik (1993), mengutip pendapat Zeithaml, bahwa “ organizational image as perceptions of an organization reflected in the associations held in consumer memory. Dengan demikian agar supaya image yang diperoleh sesuai atau mendekati brand identity yang di inginkan, maka perusahaan harus memahami dan mampu mengeksploitasi unsur-unsur yang membentuk dan membuat suatu brand menjadi brand yang kuat. Hal ini senada dengan ungkapan Gronroos dalam Rio, Rodolfo, dan Victor (2003) bahwa “ A favorable and well know image – corporate and/or local is an asset for any organization because image can impact perceptions of quality, satisfaction, and loyalty.
Menurut Aaker (1991:16) yang diperkuat oleh Kotler dan Keller (2006 ; 261), Ekuitas merek akan semakin tinggi seiring dengan semakin tingginya dimensi-dimensi dari citra perusahaan itu sendiri; dimensi-dimensi tersebut adalah:
· kesadaran akan citra perusahaan (company recognition)
· kesetiaan / pengenalan citra perusahaan (company reputation)
· kesan kualitas (afinity)
· asosiasi-asosiasi merek (domain)
· asset lainnya seperti hak paten, stempel dagang, saluran distribusi, dan lain-lain.

Ekuitas merek dapat menambah atau mengurangi nilai produk atau jasa dimata konsumen (yang dimaksud nilai di sini adalah citra), karena ekuitas merek tersebut dapat membantu konsumen menafsirkan, memproses dan menyimpan informasi dalam jumlah yang besar tentang produk atau jasa yang dijanjikan merek. Di samping itu ekuitas merek juga bisa mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam mengambil keputusan pembelian serta kepuasan dalam menggunakan produk. Demikian pula halnya bagi perusahaan (produsen), ekuitas merek yang kuat memungkinkan perusahaan melaksanakan program marketingnya secara lebih efisien dan efektif, menumbuhkan loyalitas terhadap merek, keunggulan dalam penetapan harga dan atau laba, memungkinkan perluasan merek, meningkatkan penjualan, dan akhirnya memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Oleh karena itu sangat penting bagi manajemen perusahaan untuk selalu memperhatikan, memahami, dan memelihara dengan baik semua dimensi-dimensi ekuitas merek, sehingga semua keuntungan dan manfaat yang diperoleh konsumen maupun perusahan dapat terus dipertahankan.
Bagaimana Brand Equity memberikan nilai, terdiri dari empat fase yakni :
Pertama, dimensi kesadaran citra perusahaan adalah kesanggupan konsumen untuk mengenali atau mengingat kembali, bahwa suatu citra merupakan bagian dari kategori merek produk tertentu, atau dengan perkataan lain adalah seberapa kuat suatu merek tertanam dalam benak / ingatan konsumen. Ukuran kesadaran citra dibenak konsumen menurut Aaker (1996, 10) bergerak mulai dari “pengenalan (recognition), pengingatan kembali (to recall), puncak pikiran (top of mind), dan yang menguasai (to dominant)”. Top of mind adalah posisi istimewa dimana suatu citra menjadi ‘pimpinan’ dari berbagai merek yang ada dalam ingatan/pikiran seseorang, sedangkan merek dominan adalah merek yang menempati posisi sebagai satu-satunya merek yang diingat kembali seseorang (responden) dengan persentase tinggi. Dalam kondisi persaingan belum terlalu tajam, top of mind sudah mencukupi. Namun bila persaingan sudah meningkat semakin tajam, maka top of mind saja tidak cukup. Upaya yang harus dilakukan adalah mengasosiasikan merek menjadi citra positif menurut konsumen dan membuat konsumen merasa bahwa merek kita merupakan jaminan kualitas. Hasil survey Abdul Rahman dan kawan-kawan di Indonesia tahun 1995 (1996,234-239) menunjukan bahwa SONY, selain merupakan merek yang berada pada posisi top of mind, juga dipersepsikan sebagai jaminan kualitas dan memiliki citra perusahaan yang positif; sedangkan KIJANG sekalipun menjadi top of mind, tetapi belum dipersesikan sebagai jaminan kualitas.
Kedua, dimensi Kesan kualitas (perceived quality) adalah persepsi konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa. Dan bila kesan kualitas meningkat, maka elemen kesan-kesan konsumen yang lainpun pada umumnya akan meningkat; misalnya, bila konsumen mempunyai kesan kualitas atas suatu produk itu baik, maka mereka juga akan beranggapan bahwa tarif/harga dari produk atau jasa itupun akan mahal. Dengan demikian adalah sangat penting bagi management perusahaan untuk selalu memahami hal-hal kecil yang dijadikan konsumen sebagai dasar untuk menilai kualitas produk atau jasa perusahaan. Perlu diingat pula bahwa kesan kualitas yang tinggi tersebut bukan ditentukan oleh pihak perusahaan, melainkan oleh konsumen.
Ketiga, dimensi Loyalitas merek adalah merupakan kesetiaan pelanggan terhadap suatu merek tertentu. Loyalitas merek berbeda dengan dimensi-dimensi yang lain, karena dimensi ini hanya dapat terjadi melalui pengalaman menggunakan produk atau jasa yang diwakili merek tersebut oleh pelanggan. Menurut Aaker (1991,39-40) kesetiaan terhadap merek inipun berjenjang, yaitu terendah adalah tidak loyal terhadap merek, pembeli yang puas, pembeli yang puas dengan biaya peralihan, menyukai merek dan yang tertinggi adalah pembeli yang komit. Pada tingkat paling dasar pembeli bersikap tidak loyal, dalam arti sama sekali tidak tertarik terhadap merek, sehingga pembeli cenderung untuk memilih/ membeli apapun dari suatu kategori produk atau jasa yang menawarkan kenyamanan dengan harga yang paling murah.
Pada tingkat ke dua, pembeli merasa puas dengan produk (jasa) yang digunakannya, atau tidak mengalami ketidak-puasan. Para pembeli tipe ini melakukan pembelian karena kebiasaan dan merasa tidak perlu atau tidak mempunyai alasan untuk mempertimbangkan alternatif lain. Namun demikian, bila produk yang ditawarkan perusahaan pesaing mampu menciptakan suatu manfaat yang nyata, maka mereka akan mudah untuk beralih kepada produk pesaing. Pada tahap ke tiga pembeli merasa puas tetapi memikul biaya peralihan; umpamanya uang, waktu atau kinerja; apabila mereka akan beralih merek. Sebagai contoh adalah penggantian penggunaan perangkat lunak (soft ware) sistem operasi oleh suatu pendidikan, selain memerlukan pengorbanan finansil juga adanya risiko bahwa belum tentu sistem operasi yang baru akan berjalan lebih baik dari yang digantikan.
Pada tahap ke empat, pembeli sungguh-sungguh menyukai merek karena adanya preferensi yang berlandaskan kepada asosiasi-asosiasi dari merek; misalnya logo, pengalaman menggunakan, kesan kualitas yang tinggi atau karena hal-hal yang bersifat emosional.Pada tahap tertinggi adalah para pelanggan setia yang loyal kepada merek. Pada umumnya pelanggan setia ini memiliki rasa kebanggaan menjadi pengguna dari merek karena dalam pandangan mereka merek tersebut selain sangat penting dari segi fungsinya, juga merupakan suatu ekspresi mengenai siapa mereka adanya

Nilai Jasa (services Value)

Pemasaran tidak hanya sekedar menyampaikan produk dari tangan produsen ke tangan konsumen, tetapi pemasaran pun memperhatikan apakah kebutuhan dan keinginan konsumen terpenuhi, apakah konsumen puas terhadap produk tersebut, dan apakah konsumen akan melakukan pembelian ulang dan menjadi loyal terhadap produk atau merek tersebut.
Kotler & Keller (2006:25) mengungkapkan pula bahwa: “Suatu perusahaan berhasil menawarkan produk/jasa kepada pelanggan apabila mampu memberikan nilai dan kepuasan (value and satisfaction).” Nilai (value) adalah perkiraan konsumen atas seluruh kemampuan produk untuk memuaskan kebutuhannya.”
Secara garis besarnya, nilai pelanggan adalah perbandingan antara benefit (manfaat) yang dirasakan terhadap suatu produk dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan produk tersebut. Untuk mendapatkan nilai pelanggan yang sesuai dengan persepsi pelanggan, maka suatu perusahaan harus selalu mengikutinya dengan menyediakan produk/jasa yang sesuai, karena nilai pelanggan selalu berubah sepanjang waktu.
Menurut Kotler & Keller (2006 : 136), ‘total customer satisfaction” adalah “menciptakan pelanggan”.’ Artinya, bahwa untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya, sebuah perusahaan harus memiliki konsumen yang merasa suka dan puas terhadap produk yang tawarkan.
Pada kenyataannya, menciptakan pelanggan tersebut tidaklah mudah. Perusahaan membutuhkan produk yang memiliki nilai yang sesuai dengan persepsi nilai pelanggan yang berlaku. Selain itu perusahaan menghadapi tantangan tersendiri dalam menghadapi konsumennya, karena pada saat ini konsumen dapat lebih leluasa memilih produk, merek, dan produsen yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Untuk itu perusahaan saling berlomba memberikan nilai tertinggi bagi konsumen, karena konsumen menginginkan nilai maksimum dengan dibatasi oleh biaya pencarian, keterbatasan pengetahuan, mobilitas, dan penghasilan. Semakin besar manfaat yang diberikan dibandingkan dengan harganya, maka semakin besar nilai yang diperoleh pelanggan terhadap produk tersebut.
Nilai superior yang diterima pelanggan diantaranya berasal dari kualitas superior produk tersebut. Artinya bahwa kualitas yang diberikan produk melebihi kualitas dari produk lain yang sejenis. Kualitas yang superior akan dapat dirasakan oleh pasar apabila dikomunikasikan dengan pasar.
Perusahaan harus dapat memahami kebutuhan konsumen yang dirumuskannya dengan baik, serta memiliki rancangan yang efektif dan pengawasan kualitas terhadap produk yang dibuatnya. Jika keduanya terlaksana dengan baik, maka kualitas superior dapat tercipta di dalam benak pelanggan, sehingga mendapatkan kesan kualitas yang baik di pasar. Untuk meningkatkan kesan kualitas, dapat diciptakan salah satunya dengan advertising dan juga komunikasi pemasaran lainnya, serta keunggulan biaya. Jika pelanggan memiliki kesan kualitas yang baik, maka nilai yang didapatkan pelanggan melalui produk tersebut akan tinggi, sehingga perusahaan memiliki profitability, pertumbuhan, dan pangsa pasar yang tinggi.
Menurut pendapat Zeithalm dan Bitner (2000:441), konsumen mendefinisikan nilai ke dalam empat definisi yang digambarkan sebagai berikut:
Jadi menurut Zeithalm dan Bitner, bahwa konsumen mendefinisikan sendiri nilai produk sebagai harga yang rendah, nilai adalah apapun yang diinginkan konsumen dari pelayanannya, nilai adalah kualitas yang didapatkan sebagai ganti dari harga yang dibayarkan, dan nilai adalah semua yang ingin didapatkan konsumen sebagai balasan dari apa yang diberikannya.
Barnes (2001:104) mengungkapkan bahwa, “Nilai bersifat pribadi dan unik.” Nilai dikatakan bersifat pribadi dan unik karena nilai terkait dengan manfaat yang mereka terima dari sebuah produk dan biaya yang harus dikeluarkan untuk dapat merasakan manfaat tersebut.
Halbrook (1999:27) mengungkapkan bahwa, “Nilai adalah preferensi yang bersifat relatif (komperatif, personal, dan situasional) yang memberi ciri pada pengalaman seseorang dalam berinteraksi dengan beberapa objek.” Beliau pun mengungkapkan bahwa: “Nilai berkaitan dengan pengalaman dan menyangkut bukan hanya pembelian suatu objek, melainkan juga konsumsi dan penggunaan suatu jasa.”
Barnes (2001:104) mengatakan bahwa: “Nilai dipersepsikan berbeda oleh berbagai segmen pelanggan. Pelanggan mengkombinasikan berbagai elemen yang bervariasi.” Uraian Bernes di atas dapat menjelaskan mengapa proporsi nilai seorang pelanggan yang satu tidak sama dengan yang lainnya. Suatu produk bernilai maksimum yang dianggap oleh seorang konsumen belum tentu dianggap bernilai maksimum oleh konsumen lain.
Uraian tersebut menggambarkan bahwa tantangan perusahaan dalam memenuhi nilai yang sesuai dengan persepsi pelanggan tidaklah mudah, salah satunya dikarenakan segmen pelanggan yang berbeda-beda. Namun secara garis besar, nilai pelanggan adalah perbandingan benefit dengan cost.
Menurut Harjati dalam Usmara (2003:116) nilai pelanggan menguraikan hubungan produk dengan pelanggan sebagai berikut: Nilai pelanggan menguraikan hubungan antara produk dan pelanggan yaitu pemahaman pelanggan mengenai apa yang mereka inginkan dengan produk/jasa yang ditawarkan dalam memenuhi kebutuhannya, dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkannya.

Menurut Kotler & Keller (2006:133), nilai yang diterima pelanggan adalah sebagai berikut: Nilai yang diterima pelanggan sebagai selisih antara total customer value (jumlah nilai bagi pelanggan) dan total customer cost (biaya total bagi pelanggan). Total customer value (jumlah nilai bagi pelanggan) adalah kumpulan manfaat yang diharapkan oleh pelanggan dari produk atau jasa tertentu. Total customer cost (biaya total pelanggan) adalah kumpulan pengorbanan yang diperkirakan pelanggan akan terjadi dalam mengevaluasi, memperoleh, dan menggunakan produk atau jasa tersebut.
Nilai pelanggan total menurut Hoffman dan Batteson (1997:154), terdiri dari:
Product value, the worth assigned to the product by the customer.
Service value, the worth assigned to the service by the customer.
Personnel value, the worth assigned to the service-providing personnel by the customer.
image value, the worth assigned to the image of the service or services provider by the customer.

Sedangkan biaya pelanggan total masih menurut Hofman dan Batteson (1997:154), meliputi:
Monetary price, the actual price paid by the customer for a product.
Time costs, the time customer has to spend to actual the service.
Energy costs, the physical energy spent by the customer to actual the service.
Phisychic costs, the mental energy spent by the customer to actual the service.
Hoffman dan Batteson mengidentifikasikan nilai pelanggan total ke dalam empat nilai yang diterima, yaitu nilai produk yang merupakan penilaian pelanggan terhadap produk. Kedua, nilai pelayanan yang merupakan penilaian yang diberikan pelanggan terhadap pelayanan. Ketiga, nilai karyawan yang diberikan berdasarkan penilaian terhadap pelayanan karyawan. Dan yang keempat adalah nilai citra, yang penilaiannya dilakukan oleh konsumen terhadap pelayanan atau penyedia jasa.
Total biaya pelanggan yang diungkapkan Hoffman dan Batteson di atas, diidentifikasikan ke dalam empat jenis biaya yang dikeluarkan pelanggan, yaitu: Biaya moneter adalah harga aktual yang harus dibayar pelanggan untuk mendapatkan sebuah produk. Kedua, biaya waktu yang merupakan waktu yang dihabiskan untuk memperoleh produk. Ketiga, biaya energi adalah energi yang dikeluarkan untuk memperoleh produk tersebut. Dan yang keempat, biaya psiskis yang merupakan energi mental yang dikeluarkan pelanggan untuk memperoleh produk tersebut.
Menurut Brady (1999), sasaran konsumsi pelanggan biasanya adalah: Sasaran nilai pelanggan biasanya adalah untuk memperoleh benefit/ konsekuensi positif yaitu nilai penggunaan dan nilai kepemilikan. Nilai penggunaan meliputi fungsional benefit, setelah penggunaan produk mereka menerima benefit, misalnya efisiensi waktu, menghilangkan rasa haus, hiburan, mudah dibersihkan, awet, cepat saji, enak, dan lain-lain. Nilai kepemilikan adalah irasional benefit yang merupakan komponen yang menyebabkan kebanggaan jika memiliki, karena dalam produk terkandung simbolik penting harga diri, keindahan kualitas.
Diungkapkan pula oleh Hoffman dan Betteson (1997:154) bahwa, “Buyers perceptions of value represent a trade-off between the perceived benefits of the service to the purchased and the perceived sacrifice in terms of the cost to be paid.” Artinya yaitu persepsi pembeli terhadap nilai menggambarkan sebuah perbandingan antara manfaat dari pelayanan yang dibeli dengan pengorbanan yang dirasakan dalam hubungannya dengan biaya yang dikeluarkan.
Kotler & Keller (2006:134) menyatakan bahwa pemasar dapat meningkatkan nilai tawaran pelanggan dengan beberapa cara, yaitu:
Meningkatkan manfaat;
mengurangi biaya;
meningkatkan manfaat dan mengurangi biaya;
meningkatkan manfaat lebih besar dari pada kenaikan biaya;
mengurangi manfaat lebih kecil dari pada pengurangan biaya.

Karena umumnya pelanggan menginginkan :

The buyer might be under orgers to buy at the lowest price
The buyer will retire the company realizes that the product is more expensive to operate
The buyer enjoys a long-term friendship with the product salesperson.

Avald dan Gronroos (1996 ; 37) mengatakan bahwa, ‘Keseluruhan asosiasi terhadap merek dapat dipadatkan menjadi tiga bagian, yaitu (1) fitur dan atribut, (2) manfaat dan (3) keyakinan dan nilai.’
Jadi fitur dan atribut merupakan merupakan faktor dasar yang harus dipenuhi setiap merek. Jika fitur dan atribut telah terpenuhi, maka nilai yang tinggi dapat diberikan kepada pelanggan, karena menurut (Szmigin,1998), ‘Kesuksesan merek tergantung pada kualitas produk, layanan dan sumber daya manusia.’
Berikut ini merupakan gambar piramida nilai menurut Davis, dimana fitur dan atribut menjadi dasar untuk menciptakan benefit, sehingga nilai yang tinggi dapat dirasakan pelanggan.

Maharsi,(1996 ;53) mengelompokan nilai yang diciptakan melalui tiga belas bentuk nilai, yaitu:
1. nilai berbasis harga;
2. nilai kemudahan atau akses
3. nilai berbasis pilihan;
4. nilai berbasis karyawan;
5. nilai informasi;
6. nilai asosiasi;
7. nilai yang memampukan;
8. nilai hubungan;
9. nilai keunikan pelanggan;
10. nilai kejutan;
11. nilai komunitas;
12. nilai ingatan;
13. nilai pengalaman.

Uraian dari bentuk-bentuk nilai tersebut adalah sebagai berikut:
1. Nilai berbasis harga. Dalam nilai ini, harga merupakan pemicu pelanggan untuk melakukan switcher (beralih kepada merek atau produk lain), apabila merek atau produk pesaing menawarkan harga yang lebih murah.
2. Nilai kemudahan dan akses yaitu produk dan merek perusahaan tersedia di banyak tempat penjualan, sehingga memudahkan pelanggan untuk membelinya.
3. Nilai berbasis pilihan, yaitu diciptakan melalui kesempatan yang diberikan kepada pelanggan untuk menyeleksi berbagai pilihan yang tersedia dari produk yang ditawarkan.
4. Nilai berbasis karyawan berkaitan dengan pelayanan yang diberikan oleh karyawan kepada pelanggan.
5. Nilai informasi adalah ditandai dengan mudahnya pelanggan untuk mendapatkan informasi mengenai produk atau merek yang ditawarkan perusahaan. Saat ini banyak perusahaan besar yang telah memberikan pelayanan informasi kepada pelanggan agar lebih mengenal produk mereka, yaitu melalui surat kabar, pelayanan informasi produk di toko-toko, internet, televisi, dan lain sebagainya.
6. Nilai asosiasi adalah nilai yang diperoleh pelanggan melalui perasaan atau kesan positif dari produk atau merek dikarenakan telah mendapatkan kepuasan dari mengkonsumsi produk atau merek tersebut.
7. Nilai yang memampukan, yang berarti pelanggan mampu melakukan sesuatu dengan produk tersebut.
8. Nilai hubungan, yaitu nilai yang diciptakan perusahaan dengan cara melakukan hubungan yang baik dengan pelanggan.
9. Nilai keunikan pelanggan, yaitu nilai yang diciptakan perusahaan dengan memperhatikan karakteristik pelanggan sebagai individu. Diantaranya diwakili dengan menciptakan produk yang beraneka ragam warna, bentuk, ukuran, rasa, dan lain sebagainya.
10. Nilai kejutan, yaitu nilai yang diberikan perusahaan kepada pelanggan dengan memberikan kejutan menarik bagi pelanggan.
11. Nilai komunitas adalah nilai yang diciptakan melalui komunitas pelanggan yang didirikan oleh perusahaan.
12. Nilai ingatan adalah nilai yang diciptakan pelanggan dikarenakan pelanggan ingat terhadap produk atau merek tersebut.
13. Nilai pengalaman adalah nilai yang diciptakan melalui pengalaman yang menarik, sehingga pengalaman tersebut tidak dilupakan dalam jangka waktu yang panjang.
Sedangkan Kotler & Keller (2006:13) menganjurkan pemilihan salah satu dari lima “generic value strategis”, masing-masing yaitu:
1. More for less;
2. more for same;
3. same for less;
4. more for more;
5. less for less.

Lima generic value strategis (strategis nilai generik) di atas dapat diuraikan sebagai berikut:
1. More for less artinya bahwa perusahaan memberikan manfaat (benefit) yang lebih kepada pelanggan yang disertai biaya (cost) yang lebih rendah, jika dibandingkan dengan manfaat dan biaya yang diberikan pesaing.
2. More fore same adalah perusahaan memberikan manfaat yang lebih kepada pelanggan jika dibandingkan dengan pesaing, namun biaya yang ditawarkan sama dengan pesaing.
3. Same for less adalah memberikan kemanfaatan yang sama dengan pihak pesaing kepada pelanggan dengan biaya yang lebih rendah.
4. More for more adalah strategi perusahaan dimana produk yang ditawarkan memberikan manfaat yang lebih, disertai juga biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk pesaing.
5. Less for less yaitu memberikan manfaat yang rendah dan biaya yang rendah, jika dibandingkan dengan pihak pesaing.
Jadi bahwa nilai yang diberikan pelanggan melalui produk atau merek yang diciptakannya, tidaklah selalu berarti benefit yang tinggi dan biaya yang lebih rendah dibandingkan pesaingnya. Yang penting adalah bagaimana perusahaan memiliki suatu keunggulan dari pesaing, baik itu dari benefit yang diberikan ataupun biaya yang ditawarkan.

Sistem Penyampaian Jasa (services Delivery System)

Setelah elemen-elemen jasa diproses dan dibuat dalam operasi jasa, maka elemen-elemen jasa tersebut dirakit/ dibentuk dalam penyampaian jasa menjadi elemen jasa yang utuh dan siap ditawarkan pada konsumen. Penyampaian jasa difokuskan pada dimana, kapan, dan bagaimana elemen-elemen jasa tersebut dalam hal ini elemen-elemen jasa yang direspon langsung oleh konsumen, yaitu elemen-elemen bauran pemasaran jasa disampaikan pada konsumen.
Sebagaimana yang dapat dilihat pada Gambar 2.1 di atas, selain operasi jasa yang memproses dan membuat elemen-elemen jasa terutama fasilitas dan petugas pelayanan (service personnel), juga kedua elemen tersebut merupakan ujung tombak dalam penyampaian jasa untuk menawarkan jasa tersebut pada konsumen.
Lovelock & Wright (2002 ; 30 & 49) menyatakan bahwa service as a process and system, jasa tidak dapat dilepaskan dari suatu proses dan sistem. Jasa sebagai suatu proses mencakup empat pendekatan proses, yaitu people processing, mental stimuli processing, possession processing, dan information processing. Proses ini merupakan bagian dari sistem penyampaian jasa, yaitu untuk menjawab pertanyaan “bagaimana jasa disampaikan”. Sedangkan jasa sebagai sistem adalah merupakan urutan produk jasa yang ditawarkan kepada konsumen yang meliputi service operation system, service delivery system, dan service marketing system. Berdasarkan pernyataan tersebut jelas bahwa bauran pemasaran jasa dapat dirasakan konsumen dengan melalui tahap operasi dan penyampaian jasa. Bahkan Parasuraman dan Berry (1991) serta Gronroos (2001 ; 150-152) menyatakan bahwa permasalahan kualitas jasa yang ada pada internal perusahaan adalah terjadinya kesenjangan antara standar kualitas yang dibuat oleh perusahaan berdasarkan analisis kebutuhan dan keinginan konsumen pada sistem operasi jasanya dengan penyampaian jasa (GAP 3) dan kesenjangan antara sistem penyampaian jasa dengan komunikasi pemasaran (GAP 4). Kesenjangan-kesenjangan tersebut terjadi karena terdapat ketidak konsistenan antara sistem operasi dan penyampaian jasa dengan bauran pemasaran jasa yang ditawarkan pada konsumen.

Dalam sistem bisnis jasa, ketiga sistem pembentuk jasa tersebut adalah sistem operasi jasa, sistem penyampaian jasa, dan sistem pemasaran jasa akan overlap menjadi satu kesatuan atau terpisah tergantung dari jenis jasanya. Untuk jenis jasa yang memiliki kontak tinggi dengan konsumen (a high-contact service), maka ketiga sub sistem dari sistem jasa tersebut akan bergerak overlap/ bersamaan untuk melayani konsumen.

Sedangkan untuk jenis jasa yang memiliki kontak rendah dengan konsumen, maka ketiga sub sistem dari sistem jasa tersebut cenderung berurutan dalam membentuk jasa, mulai dari sistem operasi jasa kemudian sistem penyamaian jasa dan sistem pemasaran jasa. Lovelock & Wrigh (2002 ; 68) menyatakan jasa transportasi termasuk jenis jasa yang memiliki kontak tinggi dengan konsumen (high-contact service), sehingga untuk jasa transportasi ketiga sub sistem dari sistem jasa tersebut bergerak secara bersamaan/ overlap untuk menawarkan jasa pada konsumen.

Di samping itu Lovelock & Wright (2002 ; 315) memberikan gambaran bahwa evaluasi kinerja perusahaan (performance evaluation) baik untuk pegawai, manajer, dan konsumen yang memberikan keputusan untuk menggunakan jasa/ produk tertentu dipengaruhi oleh proses penyampaian jasa yang dibentuk dari hasil konsep pemasaran jasa dan konsep operasi jasa, sebagaimana Gambar 2.6 di bawah. Pada gambar tersebut terlihat elemen-elemen dari penyampaian jasa, yaitu sequencing of service delivery step, extent of delegation, nature of contact between customer and provider, nature of process, protocol for allocating limited capacity.
The Dimensions of Service Delivery Strategy are :
· Sequencing of service delivery process
· Extent of delegation
· Nature of contact between customers and provider
· Nature of process
· Protocol for allocationg limited capacity


Kinerja Operasi Jasa (Services Operation Performance)

Kotler & Keller (2006 ; 372) mengemukakan bahwa A service is any activity or performance that one party can offer to another that is essentially intangible and does not result in the ownership of anything. It’s production may or may be tied to a physical product.
Demikian juga Stanton (1994 : 494) menyatakan :
Services are those seperately identifiable, essentially intangible activities which provide satisfaction and there are not necessarily tied to a sale of product or another service. To produce a service may or may not require the use of tangible goods. However when such use is required, there is no transfer of title (permanent ownership) to these tangible goods.

Dari definisi tersebut, mereka pada perinsipnya sama, yaitu menyatakan bahwa jasa pada dasarnya merupakan suatu yang tidak berwujud, yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Dalam memproduksi suatu jasa dapat menggunakan bantuan suatu produk fisik tetapi bisa juga tidak. Di samping itu juga jasa tidak mengakibatkan peralihan hak suatu barang secara fisik atau nyata, jadi jika seseorang pemberi jasa memberikan jasanya pada orang lain, maka tidak ada perpindahan hak milik secara fisik dan yang paling penting adalah jasa melibatkan dua unsur yang menjadi ujung tombak layanan pada konsumen adalah prasarana/ fasilitas (facility) dan kontak SDM (people).
Menurut Lovelock dan Wright (2002 : 33) “jasa merupakan suatu proses dan suatu sistem”. Arti service sebagai suatu proses adalah jasa dihasilkan dari empat proses input, yaitu: people processing (consumer), possesion processing, mental stimuly processing, dan information processing. Sebagai suatu sistem, bisnis jasa merupakan kombinasi antara service operation system, service delivery system dan service marketing system. Pemasaran jasa menekankan pada overlap dari service operation system dan service delivery system yaitu di mana, kapan, dan bagaimana suatu perusahaan membuat dan menyampaikan jasa kepada pelanggan (konsumen). Ketepatan strategi pemasaran jasa dari suatu perusahaan ditentukan oleh kualitas jasa (service quality) yang ditawarkan dan diukur oleh service performance/ perceived service (jasa yang dirasakan konsumen) dan consumer expectation (jasa yang diharapkan konsumen). Kualitas jasa keseluruhan merupakan totalitas dari setiap unsur bauran jasa.
Lovelock & Wright (2002 ; 69) menyatakan bahwa sistem operasi jasa adalah merupakan bagian dari keseluruhan sistem jasa untuk memproses input dan membuat elemen-elemen dari jasa. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa komponen-komponen jasa yang terlihat (visible) dari sistem operasi jasa dapat ke dalam dua bagian besar, yaitu petugas jasa (service personel) dan peralatan/ fasilitas fisik (physical facilities and equipment), ke dua bagian sistem operasi jasa tersebut terlihat oleh konsumen (visible), sedangkan bagian sistem operasi jasa yang tidak terlihat oleh konsumen (not visible), yaitu technical core. Namun bagi komponen jasa yang terlihat oleh konsumen (visible) maupun komponen jasa yang tidak terlihat oleh konsumen (not visible) seluruhnya merupakan elemen-elemen bauran pemasaran jasa yang dibentuk menjadi elemen-elemen jasa yang utuh dan siap disampaikan pada konsumen.
Di samping itu peran sistem operasi jasa sangat menentukan sekali untuk keberhasilan elemen-elemen jasa disampaikan pada konsumen, sehingga apabila terdapat kesalahan/ kegagalan pada sistem operasi jasa dalam memproses input mengenai keinginan dan kebutuhan konsumen, serta membuat elemen-elemen jasa tersebut, maka elemen-elemen jasa yang disampaikan pada konsumen juga akan menghadapi kegagalan, artinya konsumen akan merasa bahwa jasa yang diterima tidak sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya.
Lovelock & Wright (2002 ; 105) menyatakan bahwa operasi jasa menitik beratkan pada analisis alokasi sumberdaya dalam mengidentifikasi asset operasi jasa, yaitu strategi dalam pengelolaan fasilitas fisik (what physical facilities?), peralatan (what equipment ?), informasi dan teknologi komunikasi (what information and communication technology ?), dan SDM (what human resources, include number and skill), sehingga menghasilkan konsep operasi jasa yang mencakup geographic scope of operations, scheduling, facilities design and layout, operating assets deployment, leverage through intermediaries, leverage through customer assets, specific tasks assigned to front stage and back stage operations.

Lokasi Fasilitas Jasa
Jasa tidak dipasarkan melalui saluran distribusi tradisional seperti halnya barang fisik seperti dari pabrik ke pedagang grosir, kemudian ke pengecer untuk selanjutnya diteruskan ke konsumen akhir.

Desain dan Tata Letak Fasilitas Jasa
Desain dan tata letak fasilitas jasa erat kaitannya dengan pembentukan persepsi pelanggan. Pada sejumlah tipe jasa, persepsi yang terbentuk dari interaksi antara pelanggan dengan fasilitas jasa berpengaruh terhadap kualitas jasa tersebut di mata pelanggan.
Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan dalam mengambil keputusan desain fasilitas jasa meliputi:
1. Sifat dan tujuan organisasi jasa
Sifat suatu jasa seringkali menentukan berbagai persyaratan desainnya. Desain fasilitas yang baik dapat memberikan beberapa manfaat, diantaranya perusahaan mudah dikenali dan desain eksterior bisa menjadi ciri khas atau petunjuk mengenai sifat jasa di dalamnya.
2. Ketersediaan Tanah dan Kebutuhan akan Ruang/Tempat
Setiap perusahaan jasa yang membutuhkan lokasi fisik untuk mendirikan fasilitas jasanya perlu mempertimbangkan sejumlah faktor, seperti kemampuan finansial, ketersediaan tanah, peraturan pemerintah berkenaan dengan kepemilikan tanah dan pembebasan tanah dan sebagainya.
3. Fleksibilitas
Fleksibilitas desain sangat diperlukan apabila volume permintaan sering berfluktuasi dan jika spesifikasi jasa cepat berkembang, sehingga resiko keusangan relatif besar. Kedua kondisi ini menyebabkan fasilitas jasa harus dapat disesuaikan secara mudah dengan memperhitungkan kemungkinan perkembangan di masa datang.
4. Faktor estetis
Fasilitas jasa yang tertata secara rapi, menarik dan estetis akan dapat meningkatkan sikap positif pelanggan terhadap suatu jasa.
5. Masyarakat dan lingkungan sekitar
Masyarakat (terutama pemerhati masalah sosial dan lingkungan hidup) dan lingkungan di sekitar fasilitas jasa memainkan peranan penting dan berpengaruh besar terhadap perusahaan.
6. Biaya konstruksi dan operasi
Kedua jenis biaya ini dipengaruhi desain fasilitas. Biaya konstruksi dipengaruhi oleh jumlah dan jenis bahan bangunan yang digunakan. Biaya operasi dipengaruhi oleh kebutuhan operasional fasilitas termasuk biaya pemeliharaan.
Manajemen Permintan dan Penawaran Jasa
Salah satu tantangan besar pemasaran jasa adalah menyelaraskan kapasitas (penawaran) dan permintaan terhadap jasa perusahaan. Sejumlah faktor berkontribusi dalam hal ini diantaranya karakteristik jasa yang tidak tahan lama, variabilitas dalam kapasitas jasa, dan partisipasi pelanggan dalam sistem penyampaian jasa.

Peranan SDM dalam Operasi Jasa
Istilah boundary spanners digunakan untuk mengacu pada anggota organisasi yang berinterksi langsung dengan pelanggan di organization boundary. Sedangkan organization boundary adalah zona dimana pelanggan eksternal dan lingkungan bertemu dan berhubungan langsung dengan operasi internal organisasi.
Pada prinsipnya ada dua fungsi utama yang dijalankan oleh boundary spanners, yakni pemprosesan informasi dan representasi eksternal. Pertama boundary spanners mendapatkan informasi dari dan tentang lingkungan, menyaringnya dan meneruskannya kepada anggota-anggota organisasi lainnya. Kedua boundary spanners mewakili orgnisasi karena mereka mendapatkan masukkan dan menciptakan distribusi pengeluaran.
Dalam model Service a Profit Chain, Hesket, et l. (1997 ; 39) mengemukakan keterkaitan erat antara kepuasan karyawan dan kepuasan pelanggan. Kepuasan karyawan didapatkan dari desain pekerja dan tempat kerja yang memfasilitasi kualitas jasa internal. Rekrutment, pelatihan dan kompensasi karyawan juga merupakan kontributor utama bagi terciptanya kualitas jasa internal.